Minggu, 18 Desember 2011

Kemurnian di dalam perkawinan


I. Sudah kawin berarti tidak usah menjaga kemurnian?
Sering orang berpikir bahwa setelah seseorang menikah artinya sudah tidak perlu menjaga kemurnian lagi sebab sudah ‘terlanjur tidak murni’. Ini adalah pemikiran yang keliru. Sebab kebajikan kemurnian tidak terbatas pada orang- orang yang tidak ataupun belum menikah, tetapi pada semua orang. Mereka yang menikah dipanggil untuk melaksanakan kemurnian dalam perkawinan (conjugal chastity). Kemurnian di sini tidak untuk diartikan keperawanan secara fisik, namun lebih secara rohani. Artinya, setiap pasangan dipanggil untuk dengan setia memberikan dirinya secara total kepada pasangannya, sebagai gambaran kasih Kristus kepada Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33). Suami harus mengasihi istrinya seperti mengasihi tubuhnya sendiri dan istri harus tunduk kepada suaminya. Sesuai dengan teladan Kristus yang menyerahkan nyawa-Nya untuk menguduskan jemaat, maka suami harus rela berkorban demi kasih kepada istrinya, demikian pula sebaliknya, istri terhadap suaminya. Sebab, baik suami maupun istri dipanggil untuk hidup saling mengasihi dan saling menguduskan.
Jadi kini pertanyaan seputar kemurnian di dalam perkawinan adalah:
Sejauh mana saya telah mengikuti teladan kasih Kristus yang total, dalam mengasihi pasangan saya? Apakah kasih saya kepada pasangan adalah kasih yang murni, atau kasih yang sesungguhnya tertuju kepada diri sendiri? Apakah hubungan seksual antara kami sebagai pasangan sudah mencerminkan kemurnian kasih?

II. Kasih yang murni dalam perkawinan
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa kasih suami istri haruslah merupakan kasih yang total, yang melibatkan tubuh jasmani, perasaan dan kerohanian. Kasih persekutuan antara suami istri sifatnya pribadi sekali, sehingga tidak bisa melibatkan pihak ketiga. Sebab persatuan jasmani antara keduanya harus menghantar kepada persatuan rohani yang tak terceraikan. Persatuan yang melibatkan penyerahan diri yang total antara suami dan istri ini, harus terbuka terhadap kemungkinan penciptaan kehidupan baru. Kasih yang lengkap inilah yang menjadi gambaran dari kasih Allah sendiri.
KGK 1643, “Cinta kasih suami istri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa;kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen”. (Familiaris Consortio 13).
Jadi kita ketahui bahwa sebenarnya ada tiga jenis pengalaman persatuan dalam hubungan kasih yang murni antara suami istri. Yang pertama adalah persatuan rohani; yaitu bahwa suami dan istri mengalami kesatuan hati dan jiwa di dalam Tuhan. Kedua adalah persatuan perasaan: aliran kasih antara seorang dan yang lainnya begitu kuatnya, sehingga seolah- olah ia dapat mendengarkan detak jantung pasangannya. Ketiga ialah persatuan jasmani, yaitu ketika secara seksual suami istri bersatu dalam satu tubuh.[1].
Maka hubungan suami istri yang murni sesuai dengan rencana Tuhan adalah hubungan yang sampai kepada persatuan rohani di dalam Tuhan. Dengan perkataan lain, tanpa persatuan rohani, hubungan suami istri tidak sampai pada kepenuhannya, sehingga mudah tergoyahkan. Hal ini sangatlah sesuai dengan kenyataan, sebab survey sendiri menyatakan bahwa perbedaan agama merupakan salah satu penyebab perceraian di Indonesia. Survey menunjukkan bahwa 90% dari pernikahan beda agama berakhir dengan perceraian (sumber: klik di sini). Walau tidak enak untuk didengar, tetapi sesungguhnya data ini merupakan fakta yang menunjukkan bahwa pengalaman kesatuan rohani merupakan sesuatu yang terpenting dalam kasih suami istri. Karena kasih suami istri harus menggambarkan kasih Allah itu sendiri, maka tanpa kesatuan rohani antara suami istri, akan sulitlah bagi mereka untuk terus bertahan di dalam kesatuan perkawinan. Karena tanpa kesatuan rohani, baik suami ataupun istri mempunyai gambaran sendiri- sendiri tentang perkawinan, dan ini dapat menimbulkan ketidakcocokan dalam hal- hal lainnya. Padahal persatuan rohani suami istri merupakan dasar bagi kesatuan kasih suami istri. Dalam kesatuan kasih inilah suami istri mengambil bagian dalam kehidupan kasih ilahi Allah sendiri; yaitu pada saat suami dan istri saling memberikan kasih yang total di dalam Kristus, dan kasih timbal balik ini terbuka kepada kemungkinan penciptaan kehidupan baru.

III. Hubungan seksual dalam Perkawinan
Dengan demikian, hubungan seksual dalam perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan suci, karena tidak hanya melibatkan tubuh tetapi juga jiwa. Sudah seharusnya, suami dan istri yang melakukan hubungan seksual menghayatinya tidak semata untuk kesenangan jasmani, tetapi lebih daripada itu: untuk menghayati makna kasih Allah yang telah mempersatukan mereka dan menggabungkan mereka dengan daya ilahi-Nya, baik dalam kasih-Nya maupun dalam rencana penciptaan-Nya.
Sudah seharusnya, suami istri mempunyai kesadaran akan makna yang luhur ini, dan dengan demikian menyadari bahwa tempat tidur adalah sebuah tempat yang kudus: “holy ground“, karena di sanalah secara khusus persatuan mereka sebagai suami istri diperbaharui, secara jasmani dan rohani. “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur….. (Ibr 13:4) Hubungan suami istri selayaknya merupakan pengulangan janji perkawinan, “Ya, saya bersedia untuk mengasihi engkau, dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit….. dan saya bersedia mengasihi dan menghormati engkau seumur hidup….
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian tentang hubungan seksual dalam perkawinan:
KGK 2362 “Maka dari itu tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal-balik, cara mereka saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur” (Gaudium et Spes 49). Seksualitas adalah sumber kegembiraan dan kesenangan:
“Sang Pencipta sendiri telah menentukan bahwa di dalam fungsi perkembangbiakan, pasangan mengalami kesenangan dan kepuasan tubuh dan jiwa. Oleh karena itu, pasangan tidak melakukan kejahatan dalam mencari kesenangan ini dan menikmatinya. Mereka menerima apa yang dimaksudkan oleh Pencipta mereka. Pada saat yang sama, pasangan harus tahu bagaimana untuk memperhatikan batas-batas pengekangan diri yang baik” (Pius XII, wejangan 29 Okt. 1951).
KGK 2363 Melalui persatuan suami isteri terlaksanalah tujuan ganda perkawinan: kesejahteraan suami isteri dan penyaluran kehidupan. Orang tidak dapat memisahkan kedua arti dan nilai perkawinan ini satu dari yang lain, tanpa merugikan kehidupan rohani pasangan suami isteri dan membahayakan kepentingan perkawinan dan masa depan keluarga.
Dengan demikian cinta suami isteri antara pria dan wanita berada di bawah tuntutan ganda yakni
 kesetiaan dan kesuburan.
Jadi selama kedua tujuan perkawinan (kesejahteraan suami istri/union dan kemungkinan kelahiran baru/procreation) dipenuhi, tentu dengan penghayatan akan kasih Allah yang mempersatukan, maka suami istri melakukan kemurnian kasih dalam perkawinan. Namun jika kedua tujuan itu dipisahkan, dan hanya dilakukan salah satu saja, maka motivasi kemurnian kasihnya patut dipertanyakan. Jika pasangan tetap memisahkan kedua tujuan ini maka sebenarnya mereka mempertaruhkan kebahagiaan perkawinan mereka sendiri.

IV. Komitmen untuk hidup dalam kemurnian dalam perkawinan
Mengingat akan makna yang luhur ini, maka kita tidak dapat atas kehendak sendiri memaknai hubungan seksual suami istri di luar makna yang telah direncanakan oleh Allah. Hubungan seksual antara suami dan istri memiliki dua tujuan yang tak terpisahkan, yaitu untuk mempersatukan suami istri dan untuk mengajak keduanya terbuka dalam karya penciptaan-Nya. Maka hubungan seksual yang benar dan sesuai dengan rencana Allah tidak dapat memisahkan keduanya: jangan dianggap sebagai sarana mempersatukan suami istri saja, atau sarana mendapatkan keturunan saja. Sebab jika demikian, maka menjadi tidak sesuai dengan rencana Allah yang menciptakannya.
Jika suami istri berkomitmen untuk memaknai hubungan seksual sesuai dengan prinsip kemurnian ini -sesuai dengan rencana Allah pada awalnya- maka mereka tidak perlu merasa kotor dan berdosa selama berhubungan seks. Yang menjadi masalah adalah jika kedua tujuan tersebut tidak dilakukan bersama- sama, apalagi jika fokus utamanya adalah mencari kepuasan jasmani sendiri, dan dengan demikian tidak dilakukan sesuai dengan rencana Tuhan.

V. Hubungan kasih suami istri berakar pada persamaan martabat keduanya
Walaupun dikatakan bahwa suami adalah kepala istri, namun itu bukan untuk diartikan bahwa martabat pria lebih tinggi dari martabat wanita. Tuhan menjadikan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan ini berarti bahwa keduanya diciptakan setara martabatnya.
KGK 2393 Dengan menciptakan manusia laki- laki dan perempuan, Tuhan memberikan martabat pribadi yang sama antara satu dengan lainnya. Setiap dari mereka harus mengenali dan menerima identitas seksualnya.
Persamaan martabat ini harus mendasari hubungan suami istri. Penghayatan akan hal ini mengakibatkan suami dan istri saling memperhatikan kehendak dan kebutuhan pasangan. Di samping istri perlu memahami kebutuhan suami, namun suami juga harus memperhatikan keadaan istrinya. Saling pengertian ini perlu, sebab jika tidak ada, salah satu pihak akan merasa hanya dipergunakan sebagai alat pelampiasan saja. Ini tentu tidak dikehendaki dalam perkawinan.
Maka tidak benar bahwa Gereja mengajarkan bahwa tujuan perkawinan adalah hanya untuk melepaskan hasrat seksual saja. Jika Rasul Paulus mengatakan, “Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu,” (1 Kor 7:9) selayaknya dimengerti bahwa melalui perkawinan pasangan suami istri dikuduskan, dengan latihan pemberian diri secara timbal balik dengan pasangannya. Pemberian diri ini melibatkan pengendalian diri dalam penyampaiannya. Dan dengan melatih pengendalian diri ini, maka mereka dikuduskan.

sumber: http://www.katolisitas.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar