VI. Makna kesuburan dalam Perkawinan
Adalah suatu persepsi yang umum didengar sekarang, bahwa hadirnya anak identik dengan biaya. Walaupun pandangan ini tidak salah total, namun sesungguhnya pandangan ini menyedihkan, sebab dapat mengakibatkan suami dan istri tidak lagi memaknai hubungan kasih suami istri seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Akibatnya kadang kehadiran anak lebih dianggap sebagai beban daripada berkat. Padahal, Katekismus mengajarkan:
KGK 2366 Kesuburan adalah suatu karunia, sebuah tujuan perkawinan, sebab kasih suami istri secara kodrati cenderung berbuah. Seorang anak tidak datang dari luar sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada kasih timbal balik antara pasangan suami istri, tetapi lahir dari inti kasih yang saling memberi, sebagai buahnya dan kepenuhannya. Oleh sebab itu, Gereja, yang berpihak kepada kehidupan, mengajarkan bahwa “setiap dan masing- masing tindakan hubungan suami istri tetap ditujukan kepada penciptaan (procreation).” (Humanae Vitae 11). “Ajaran ini, yang diajarkan dalam banyak kesempatan oleh Magisterium, berdasarkan atashubungan yang tak terpisahkan, seperti yang ditentukan oleh Tuhan, yang tidak dapat dilanggar oleh manusia atas inisiatifnya sendiri, antara makna persatuan(unitive) dan penciptaan (procreative) yang keduanya melekat pada tindakan hubungan suami istri.” (Humanae Vitae 12, lih. Paus Pius XI, Casti Connubii).
KGK 2367 Dipanggil untuk memberikan kehidupan, pasangan suami istri mengambil bagian di dalam kuasa penciptaan dan kebapa-an Tuhan (lih. Ef 3:14; Mat 23:9). Pasangan suami istri harus menganggapnya sebagai panggilan mereka untukmenyalurkan kehidupan manusia dan untuk mendidik anak- anak mereka;mereka harus menyadari bahwa dengan demikian mereka bekerjasama dengan kasih Allah Pencipta dan dalam arti tertentu, menjadi penerjemahnya. Mereka akan memenuhi tugas ini dengan cara manusiawi dan tanggungjawab Kristiani.” (Gaudium et Spes 50)
Tanggungjawab Kristiani di sini berkaitan dengan pengaturan kelahiran. Tentang hal ini, Katekismus mengajarkan:
KGK 2368 Satu aspek khusus dari tanggung jawab ini menyangkut pengaturan kehamilan [keluarga berencana]. Karena alasan-alasan yang sah suami isteri dapat mengusahakan jarak antara kelahiran anak-anaknya. Terserah kepada mereka untuk menguji, apakah kerinduan mereka itu bukan berdasarkan pada egoisme, melainkan pada kebesaran jiwa yang sesuai dengan tugas orang-tua yang bertanggung jawab. Di samping itu mereka akan mengatur sikap mereka sesuai dengan ukuran kesusilaan yang obyektif:
Maka, bila soalnya bagaimana menyelaraskan cinta kasih suami isteri dengan penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab, moralitas cara bertindak tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus atau penilaian alasan-alasannya saja. Moralitas itu harus ditentukan berdasarkan norma-norma yang obyektif, yang diambil dari kodrat manusia dan tindakan- tindakannya, dan norma-norma itu menghormati arti sepenuhnya yang ada pada saling penyerahan diri (mutual self-giving) dan pada penciptaan manusia (human procreation), dalam konteks cinta kasih sejati. Itu semua tidak mungkin, kalau keutamaan kemurnian dalam perkawinan tidak diamalkan dengan tulus hati.” (Gaudium et Spes 51)
VII. Cara konkret untuk melaksanakan kemurnian dalam perkawinan Untuk menerapkan kemurnian dalam perkawinan, diperlukan rasa saling pengertian, saling menghormati antara suami dan istri; dan di atas semua itu adalah pengendalian diri. Namun hal ini tidaklah mustahil, jika pasangan mengandalkan pertolongan Roh Kudus sebab salah satu buah Roh Kudus adalah pengendalian diri (Gal 5:23). Cara untuk menerapkan secara praktis kemurnian dalam perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan KB alamiah: Artinya, jika untuk alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pasangan tidak menginginkan tambahan kelahiran anak, maka keduanya dapat pantang berhubungan seksual pada saat masa subur istri. Cara pengamatan masa subur istri yang dianjurkan adalah metoda Billings, yang dapat diamati dengan metoda Creighton. Hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Di luar masa pantang, suami dan istri dapat mengekspresikan kasih yang penuh, sesuai dengan yang dikehendaki Allah yaitu yang melibatkan aspek union dan procreation.
2. Menggunakan waktu pantang, untuk memusatkan perhatian kepada Tuhan. Rasul Paulus menasehati, “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.” (1 Kor 7:5)
3. Mengusahakan ungkapan kasih yang tulus yang bukan hubungan seksual. Suami dan istri harus mengusahakan komunikasi yang baik dan berusaha mengungkapkan kasih yang tulus, yang tidak terbatas pada hubungan seksual. Gunakan waktu yang ada untuk lebih mengenal pasangan ataupun menyenangkan hati pasangan dengan cara- cara sederhana.
VIII. Mengapa kita mengikuti kehendak Tuhan dalam hal kemurnian? Kita perlu hidup murni adalah karena kemurnian berhubungan dengan panggilan kita sebagai umat beriman untuk hidup kudus. Sebab tanpa kekudusan tak seorangpun dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Kita harus mengingat bahwa setelah kita semua dibaptis, kita semua menerima Roh Kudus, dan tubuh kita menjadi tempat kediaman Roh Kudus (lih. 1Kor 3:16; 6:19). Akibatnya tubuh kita ini bukan lagi milik kita sendiri, namun adalah milik Kristus. “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Kor 6:20). Selayaknya kita mengikuti kehendak Tuhan yang telah menebus segala dosa kita, dengan memperlakukan tubuh kita ini sesuai dengan kehendak-Nya, agar dengan demikian, kita memuliakan Tuhan dengan tubuh kita, bukan saja dengan hati dan jiwa kita. Bagi para suami dan istri, menjaga kemurnian tubuh pertama- tama adalah dengan melakukan hubungan seksual sesuai dengan rencana Tuhan: yaitu untuk mempersatukan suami istri (union) dan untuk menyalurkan kehidupan (pro-union). Dengan menerapkan kedua tujuan ini, suami istri melaksanakan panggilan hidup mereka sesuai dengan kehendak Tuhan.
IX. Pelanggaran terhadap martabat perkawinan Pada bagian ini, kita akan membahas tentang beberapa penyimpangan dan pelanggaran terhadap martabat perkawinan, seperti: 1) perzinahan, 2) perceraian, 3) poligami, 4) incest, 5) pelecehan seksual, 6) kumpul kebo, 7) dan penggunan kontrasepsi – yang akan dibahas secara tersendiri.
1. Perzinahan/ perselingkuhan a. Perzinahan menurut Kitab Suci: Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.” (Luk 16:18, lih. Mrk 10:11)
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28)
b. Perzinahan menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK): KGK 2380 Perzinahan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Kalau dua orang, yang paling kurang seorang darinya telah kawin, mengadakan bersama hubungan seksual, walaupun hanya bersifat sementara, mereka melakukan perzinahan. Kristus malah mencela perzinahan di dalam roh (Bdk. Mat 5:27-28). Perintah keenam dan Perjanjian Baru secara absolut melarang perzinahan (Bdk. Mat 5:32; 19:6; Mrk 10:11; 1 Kor 6:9-10). Para nabi mengritiknya sebagai pelanggaran yang berat. Mereka memandang perzinahan sebagai gambaran penyembahan berhala yang berdosa (Bdk.Hos 2:7;Yer 5:7; 13:27).
KGK 2381 Perzinahan adalah satu ketidakadilan. Siapa yang berzinah, ia tidak setia kepada kewajiban-kewajibannya. Ia menodai ikatan perkawinan yang adalah tanda perjanjian; ia juga menodai hak dari pihak yang menikah dengannya dan merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian, yang adalah dasarnya. Ia membahayakan martabat pembiakan manusiawi, serta kesejahteraan anak-anak, yang membutuhkan ikatan yang langgeng dari orang-tuanya.
Tuhan Yesus mengajarkan bahwa pada awal mula penciptaan Allah menghendaki agar perkawinan menjadi tak terceraikan (lih. KGK 2382, Mt 5:31-32;19-3-9; Mrk 10:9; Luk 16:18; 1 Kor 7:10-11). Jika karena alasan yang sangat mendesak (misalnya hal- hal yang mengancam keselamatan, dst.) seperti yang telah diatur dalam hukum kanon, dapat saja diperbolehkan adanya perpisahan antar pasangan; namun ikatan perkawinan tetap ada (lih. KGK 2383). Kekecualian hanya dapat diberikan jika ikatan perkawinan dapat dibuktikan sebagai tidak sah dari awalnya, sehingga dalam hal ini, Tribunal keuskupan dapat memberikan ijin pembatalan perkawinan.
Tentang perceraian katekismus mengajarkan:
KGK 2384 Perceraian merupakan pelanggaran besar melawan hukum kodrat. Ia menyatakan pengrusakan perjanjian yang melaluinya pasangan secara bebas telah berjanji untuk hidup bersama sampai mati. Perceraian melukai perjanjian keselamatan, yang ditandai oleh perkawinan yang sakramental itu. Memasuki ikatan perkawinan yang baru, meskipun itu diakui oleh hukum sipil, menambah parah kerusakan itu: pasangan yang menikah tersebut kemudian berada di dalam keadaan perzinahan yang sifatnya publik dan permanen.
Jika seorang suami, berpisah dari istrinya, menghapiri perempuan lain, ia menjadi seorang pezinah, sebab ia membuat perempuan itu berzinah; dan perempuan yang hidup dengannya menjadi pezinah, sebab ia telah mengambil suami orang lain menjadi miliknya. (St. Basil, Moralia 73, 1 PG, 849-852)
Poligami bertentangan dengan persekutuan perkawinan yang direncanakan Allah, sebab poligami menentang persamaan martabat laki-laki dan perempuan yang harus saling memberikan diri secara total kepada pasangannya (KGK 2387). Menarik untuk diamati, walaupun diperbolehkan oleh suatu agama/ adat tertentu, adalah tak seorang wanitapun yang senang dimadu.
KGK 2387 Orang dapat membayangkan, betapa besar konflik batin bagi seorang yang hendak bertobat kepada Injil, karena ia harus melepaskan satu atau beberapa isteri, yang dengannya ia telah hidup bertahun-tahun lamanya sebagai suami isteri.Tetapi poligami tidak dapat diperdamaikan dengan hukum susila, karena ia “melanggar secara radikal” persatuan perkawinan. “Poligami secara langsung mengingkari rencana Allah, yang diwahyukan sejak awal mula; sebab berlawanan dengan kesamaan martabat pribadi pria maupun wanita; karena dalam perkawinan mereka menyerahkan diri dalam cinta kasih yang menyeluruh, maka dari itu juga unik dan eksklusif” (FC 19; Bdk. GS 47,2.) Seorang Kristen, yang sebelum Pembaptisan mempunyai beberapa isteri berada di bawah kewajiban keadilan yang berat untuk memenuhi kewajiban finansialnya terhadap mantan isteri-isterinya dan anak-anaknya.
Perkawinan antar sesama saudara yang masih berada dalam tingkatan tertentu dilarang oleh Gereja (lih. KGK, 2388), karena tidak sesuai dengan rencana Allah. Yang dilarang adalah hubungan darah lurus (misal bapak dengan anak ataupun ibu dengan anak- lih. Kan. 1091 – § 1) dan hubungan kolateral menyamping sampai tingkat ke-4 (Kan. 1091 – § 2).
KGK 2388 Perbuatan sumbang ialah hubungan intim antara sanak-saudara atau ipar, baginya perkawinan dilarang (Bdk. Im 18:7-20.). Santo Paulus mengecam pelanggaran yang sangat besar ini: “Memang orang mendengar bahwa ada percabulan di antara kamu… yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya… Dalam nama Yesus Tuhan kita, kami hendak menyerahkan orang ini kepada iblis, sehingga binasa tubuhnya” (1 Kor 5:1.4-5). Perbuatan sumbang itu merusak hubungan di dalam keluarga dan merupakan satu langkah mundur menuju tingkah laku hewani.
Pelecehan seksual yang dimaksud di sini adalah tindakan tak senonoh yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak- anak yang dipercayakan kepada mereka.
KGK, 2389. Bersama perbuatan sumbang itu perlu dihubungkan jugapelanggaran seksual dari orang dewasa terhadap anak-anak atau kaum muda yang dipercayakan kepada pemeliharaan mereka. Dalam hal ini ditambah lagi satu pelanggaran berat terhadap keutuhan badani dan moral dari anak-anak muda itu, yang dengan demikian tetap dibebani sepanjang hidupnya. Dalam kasus ini terkandung juga satu pelanggaran berat terhadap tanggung jawab pendidikan.
Kumpul kebo yang merupakan hubungan bebas antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan, yang melibatkan keintiman seksual. Tindakan ini merendahkan martabat perkawinan, karena mereka merusak konsep keluarga, melemahkan nilai kesetiaan, dan demikian melawan hukum moral. Termasuk di sini adalah tindakan mempunyai ’simpanan’, menolak ikatan perkawinan, menolak untuk membuat komitmen (lih. KGK 2390); ataupun membuat situasi ini sebagai semacam “perkawinan coba- coba” (lih. KGK 2391).
KGK 2390 Suatu hubungan liar terbentuk, kalau seorang pria dan seorang wanita menolak untuk memberi satu bentuk hukum yang resmi kepada hubungan mereka yang menyangkut juga keintiman seksual. Ungkapan “cinta bebas” itu bersifat menyesatkan: apakah artinya jalinan cinta, di mana kedua belah pihak tidak mempunyai komitmen satu sama lain dan dengan demikian memberikan kesaksian, bahwa mereka tidak percaya sepenuhnya kepada mitranya atau diri sendiri atau masa depan?
Ungkapan “hubungan liar” menggambarkan berbagai macam situasi: konkubinat, penolakan perkawinan sebagai lembaga resmi dan ketidakmampuan mengikat diri pada kewajiban-kewajiban jangka panjang (Bdk. Familiaris Consortio 81). Semua situasi ini menodai martabat perkawinan; mereka merusakkan pikiran dasar mengenai keluarga; mereka memperlemah pengertian benar tentang kesetiaan. Mereka melanggar hukum moral: persetubuhan secara eksklusif hanya boleh dilakukan di dalam perkawinan; di luar perkawinan ia [persetubuhan] selalu merupakan dosa berat dan mengucilkan dari penerimaan komuni kudus.
KGK 2391 Dewasa ini banyak orang yang bermaksud untuk kawin, menuntut semacam hak bisa mencobainya. Walaupun kehendak untuk kawin itu pasti, namun suatu kenyataan ialah bahwa hubungan seksual yang terlalu awal “tidak menjamin sama sekali kejujuran dan kesetiaan hubungan antar manusia yakni pria dan wanita, apalagi melindungi mereka dari tindakan sesuka hati dan dari nafsu berahi” (CDF, Perny. Persona humana 7). Persatuan badani hanya dapat dibenarkan secara moral, apabila antara pria dan wanita telah diciptakan satu persekutuan hidup yang definitif. Cinta kasih manusiawi tidak membiarkan yang hanya “coba-coba”. Ia menghendaki penyerahan diri timbal balik yang tetap dan utuh dari kedua belah pihak (Bdk. Familiaris Consortio 80)
IX. Bolehkah menggunakan alat kontrasepsi? Penggunaan alat kontrasepsi adalah merupakan bentuk pelanggaran terhadap martabat perkawinan. Gereja Katolik, berpegang teguh pada Tradisi Suci, menolak penggunaan segala bentuk alat kontrasepsi, karena penggunaannya memisahkan kedua tujuan perkawinan, dengan hanya menginginkan persatuan suami istri namun menolak kemungkinan penciptaan kehidupan baru. Maka kontrasepsi menyalahi makna kasih yang kreatif, dan menyerang arti sebuah perkawinan.
1. Dasar dari Magisterium Gereja: a. Casti Connubii, surat ensiklik Paus Pius XI (1930) “Any use whatever of matrimony, exercised in such a way that the act is deliberately frustrated in its natural power to generate life, is an offense against the law of God and of nature, and those who indulge in such acts are branded with the guilt of grave sin.” (Casti Connubii, 56), terjemahannya:
“Tindakan apapun dari perkawinan, yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang disengaja menelantarkan kodrat dari kekuatan untuk memberikan kehidupan, adalah bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum kodrat, dan kepada yang melakukan perbuatan tersebut dicap dengan kesalahan dosa berat.”
b. Humanae Vitae, surat ensiklik Paus Paulus VI (1968) Penggunaan metoda pengendalian kelahiran yang tidak dapat dibenarkan
14. Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan prokreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun itu benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar.
2. Dasar dari Tradisi Suci / Tulisan para Bapa Gereja: a. The Letter of Barnabas [70-90 AD] Epistle of Barnabas “Lebih lanjut, Musa telah dengan benar membenci tikus (menurut konteks teks dalam Im. 11:29). Karena dia bermaksud, “Engkau tidak boleh menyerupai mereka yang kita dengar melakukan kejahatan dengan mulut mereka, dengan tubuh mereka melalui ketidakmurnian (hubungan seksual secara oral); juga engkau tidak diperkenankan bergabung (bersatu/ berhubungan seksual) dengan para wanita yang tidak kudus yang telah melakukan perbuatan tak bermoral dengan mulut, dengan tubuh, melalui ketidakmurnian.” (Surat Barnabas 10:8 [74 M] )
b. Clement of Alexandria [150-215 AD] Who is the Rich Man That Shall Be Saved? “Hubungan sanggama yang dilakukan dengan tujuan di luar tujuan untuk melahirkan anak-anak adalah perbuatan yang melukai alam.” (ibid., 2:10:95:3).
c. Clement of Alexandria [150-215 AD] Exhortation to the Heathen (Chapter 10) “Oleh karena berketurunan adalah institusi ilahi, maka benih kehidupan (sperma) tidak untuk diejakulasikan dengan sia-sia, tidak untuk dirusak, dan tidak untuk dibuang.” (The Instructor of Children 2:10:91:2 [A.D. 191]).
d. Caius [180-240 AD] Fragments “Siapakah dia yang tidak dapat memperingatkan bahwa tak seorang wanita pun diperbolehkan mengkonsumsi suatu cairan atau ramuan tertentu supaya ia tidak dapat mengandung atau mengutuk dalam dirinya sendiri suatu kodrat alam di mana Tuhan menghendaki supaya ia menjadi subur dan produktif? Dari banyaknya jumlah kemungkinan ia mengandung dan melahirkan, maka sebanyak itulah juga ia akan dinyatakan bersalah, dan kecuali dia menjalani suatu pertobatan yang sungguh-sungguh, dia akan dikutuk dengan kematian kekal di neraka. Jika seorang wanita tidak ingin mempunyai anak, biarlah ia mengikat suatu kesepakatan religius dengan suaminya, karena tidak berhubungan seksual adalah satu-satunya cara untuk menjadi steril bagi seorang wanita Kristen.” (Sermons 1:12 [A.D. 522]).
e. Lactantius [290-350 AD] Divine Institutes, Book I “Tuhan telah mengaruniai kita mata bukan untuk melihat dan menginginkan kenikmatan, tetapi untuk melihat perbuatan-perbuatan yang dilakukan demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, demikian juga alat kelamin (atau dalam bahasa Inggrisnya adalah ‘genital’ yang akar katanya adalah ‘generating’ yaitu ‘menciptakan’] sebagai bagian tubuh, seperti diajarkan kepada kita dari namanya, telah kita terima bukan untuk tujuan yang lain selain untuk menciptakan /melahirkan keturunan.” (ibid., 6:23:18).
f. Lactantius [290-350 AD] Divine Institutes, Book VI “Beberapa orang mengeluh terhadap ketidakmampuan ekonomi / pemenuhan kebutuhan hidup, dan menganggap bahwa mereka tidak cukup mampu secara ekonomi untuk membesarkan lebih banyak anak, walaupun sebenarnya, kecukupan kebutuhan hidup sesungguhnya ada dalam kemampuan mereka….atau Tuhan tidak setiap hari membuat yang kaya menjadi miskin dan yang miskin menjadi kaya. Maka dari itu, jika seseorang atas dasar alasan-alasan kemiskinan menjadi tidak mampu untuk membesarkan anak, adalah lebih baik baginya untuk pantang melakukan hubungan seksual dengan istrinya.” (Divine Institutes 6:20 [A.D. 307]).
g. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 28 on the Gospel of Matthew “Dalam kebenaran, semua orang tahu bahwa mereka yang berada di bawah cengkeraman penyakit ini (penyakit dosa menginginkan milik orang lain dengan iri hati] mengalami kelelahan spiritual, bahkan terhadap usia lanjut ayah mereka [mengharap ayah mereka meninggal supaya mereka memperoleh warisan], dan hal-hal yang manis dan secara umum merupakan dambaan, yaitu mempunyai anak, mereka nilai sebagai sesuatu yang menyedihkan dan bukan sesuatu yang layak disambut dengan gembira. Banyak orang yang setidaknya memiliki pandangan semacam itu dalam hatinya, bahkan telah mengeluarkan uang untuk bisa menjadi tidak punya anak, dan telah memutilasi alam, tidak hanya membunuh bayi-bayi yang akan / baru lahir, tetapi bahkan berbuat hal-hal yang menghambat / mencegah terjadinya awal dari kehidupan bayi-bayi tersebut.” (Homilies on Matthew 28:5 [A.D. 391]).
h. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 62 on the Gospel of Matthew “Orang yang telah memutilasi dirinya sendiri, pada kenyataannya, menanggung resiko kutukan, seperti Rasul Paulus mengatakan, “Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya!” (Gal 5:12). Dan adalah sangat beralasan, sebab orang seperti itu sebenarnya sedang mencoba untuk melakukan perbuatan seorang pembunuh, dan memberi kesempatan kepada mereka yang menjelek-jelekkan ciptaan Tuhan, dan membuka mulut para Manicheans, dan bersalah atas perbuatan yang melawan hukum seperti mereka yang memutilasi dirinya sendiri di antara orang-orang Yunani. Karena memotong anggota-anggota tubuh kita sendiri adalah sejak semula suatu pekerjaan agen-agen kegelapan dan sarana dari si Setan, sehingga mereka dapat membawa ke permukaan suatu laporan yang buruk terhadap pekerjaan-pekerjaan Tuhan, sehingga mereka dapat menodai mahluk hidup, membebankan kesalahan bukan kepada pilihan, tetapi kepada sifat-sifat alamiah anggota tubuh kita, bagian yang lebih besar dari mereka dapat berdosa dalam rasa aman sebagai tidak bertanggung jawab, sehingga dua kali lipat menodai mahluk hidup ini, baik melalui pemotongan/ mutilasi anggota-anggota tubuh maupun melalui penghambatan/ perintangan dorongan pilihan bebas atas nama perbuatan-perbuatan baik” (ibid., 62:3).
i. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 24 on Romans “Mengapa kamu menabur di mana ladangnya ingin memusnahkan buahnya, di mana terdapat obat-obat untuk sterilisasi [kontrasepsi oral], di mana terdapat pembunuhan sebelum kelahiran? Engkau bahkan tidak ingin membiarkan seorang pelacur tetap menjadi pelacur, tetapi engkau menjadikannya seorang wanita pembunuh pula. Sesungguhnya, itu adalah lebih buruk daripada pembunuhan, dan aku tidak tahu bagaimana harus menyebutnya, karena ia tidak membunuh yang telah terbentuk, melainkan mencegah pembentukannya. Lalu apakah itu namanya? Apakah engkau mengutuk karunia Tuhan dan melawan hukum-hukum alam-Nya? Tetapi kejahatan itu….persoalan itu masih nampak diacuhkan/ diabaikan oleh banyak pria lajang bahkan juga oleh pria-pria beristri. Di dalam pengabaian oleh para pria yang menikah ini, masih ada kejahatan yang lebih besar, karena kemudian racun dipersiapkan, bukan untuk melawan rahim dari seorang pelacur, tetapi melawan istrimu yang terluka. Berhadapan dengan dia adalah tipuan-tipuan yang tak terhitung banyaknya ini” (Homilies on Romans 24 [A.D. 391]).
j. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 5 on Galatians “Amatilah betapa pahitnya Paulus berbicara menentang penipu-penipu mereka….” Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya’ [Gal. 5 : 12]…Terhadap perbuatan ini dia mengutuk mereka, dan maksudnya adalah sebagai berikut: ‘Untuk mereka aku tidak punya keprihatinan khusus, “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi” [Titus 3:10]. Jika mereka mau, biarlah mereka tidak hanya disunat tetapi dimutilasi. ‘Lalu di mana mereka yang berani memutilasi dirinya sendiri, melihat bahwa mereka mewarisi kutukan para rasul, dan menuduh karya tangan Tuhan, dan mengambil bagian bersama para Manichees?” (Commentary on Galatians 5:12 [A.D. 395]).
k. Jerome, St [347-420 AD] Against Jovinianus (Book I) “Tetapi aku heran mengapa dia [bidat Jovinianus] menyajikan kepada kita Yehuda dan Tamar sebagai contoh, kecuali kemungkinan bahkan pelacur memberikan dia kesenangan; atau Onan, yang dibunuh karena dia membenci benih kakaknya. Apakah dia membayangkan bahwa kita menyetujui berbagai hubungan seksual kecuali sebagai prokreasi keturunan?” (Against Jovinian 1:19 [A.D. 393]).
l. Jerome, St [347-420 AD] Against the Pelagians (Book I) “Kamu mungkin melihat sejumlah wanita yang sudah menjadi janda sebelum mereka menjadi istri. Wanita-wanita lainnya meminum minuman pembuat steril dan membunuh manusia yang belum sempat dilahirkan, [dan beberapa lagi melakukan aborsi]” (Letters 22:13 [A.D. 396]).
m. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] On the Good of Marriage “Sebab aspek hubungan seksual yang diperlukan untuk memperoleh keturunan saja sudah menjadikan sebuah perkawinan berharga. Namun jika hubungan itu berlanjut ke hal-hal yang melampaui keperluan untuk memperoleh keturunan, maka hal itu tidak lagi mengikuti alasan yang benar tetapi mengikuti hawa nafsu. Dan hal itu berkaitan dengan karakter sebuah perkawinan…..untuk melakukan hal-hal itu kepada pasangannya supaya ia tidak melakukan dosa yang terkutuk [perselingkuhan di luar perkawinan]….Mereka tidak boleh memalingkan diri dari belas kasihan Allah…..dengan mengubah cara-cara alamiah kepada cara-cara yang melawan alam, yang menjadi lebih terkutuk ketika itu dilakukan dalam relasi antara suami dan istri. Karena, jika cara-cara alamiah ketika itu dilakukan melampaui batas tujuan perkawinan, yaitu bila, melampaui alasan keperluan untuk menghasilkan keturunan, adalah masih bisa diampuni bila dilakukan pada seorang istri, dan menjadi dosa yang dikutuk bila dilakukan kepada seorang pelacur; bahwa hal yang melawan alam itu adalah sangat buruk bila dilakukan kepada pelacur, tetapi menjadi lebih buruk lagi bila dilakukan kepada istri. Begitu besarnya kuasa ketentuan hukum Sang Pencipta, dan hukum alam mahluk ciptaan…sehingga, ketika seorang pria ingin menggunakan bagian tubuh dari istrinya, hal itu tidak diperkenankan untuk tujuan ini [hubungan seksual secara oral atau anal], sang istri akan merasa lebih dipermalukan, jika ia menderita karena mengalami hal itu pada dirinya sendiri, daripada jika itu terjadi pada wanita lain.” (The Good of Marriage 11–12 [A.D. 401]).
n. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] On the Morals of the Manichaeans “Hal ini membuktikan kepadamu bahwa kalian [para Manicheans] setuju untuk mempunyai istri, bukan sebagai sarana prokreasi untuk melahirkan keturunan, tetapi sebagai sarana pemuasan nafsu. Dalam perkawinan, seperti yang dinyatakan dalam hukum perkawinan, pria dan wanita bersatu untuk menghasilkan keturunan. Oleh karena itu, barangsiapa membuat kegiatan prokreasi menjadi suatu dosa yang lebih besar daripada persetubuhan, menolak perkawinan dan membuat wanita pasangannya bukan menjadi seorang istri tetapi seorang wanita simpanan, yang untuk sejumlah imbalan yang diberikan kepadanya disatukan dengan pria pasangannya itu untuk memuaskan nafsunya.” (The Morals of the Manichees 18:65 [A.D. 388]).
o. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book XXII) “Karena hukum abadi, yaitu kehendak Allah Pencipta segala mahluk, yang menganjurkan konservasi tatanan alam, tidak untuk melayani hawa nafsu, melainkan untuk memperhatikan kelangsungan ras manusia, mengijinkan kesenangan tubuh fana untuk dilepaskan dari kontrol nalar di dalam hubungan seksual, hanya demi tujuan prokreasi untuk melahirkan keturunan.” (ibid., 22:30).
p. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] Tractate 8 (John 2:1-4) “Kalian para Manicheans membuat para pengawasmu menjadi pelaku-pelaku perselingkuhan dari istri-istri mereka sendiri, ketika mereka berlaku sedemikian agar jangan sampai para wanita dengan siapa mereka melakukan hubungan seksual, menjadi mengandung. Mereka mengambil istri menurut hukum perkawinan dengan surat peringatan yang mengumumkan bahwa perkawinan diikat dalam sebuah kontrak untuk menghasilkan keturunan, dan kemudian, takut akan hukummu [yang menentang hal mengasuh dan membesarkan anak]….mereka berhubungan seksual dalam sebuah hubungan yang terlarang dan memalukan hanya untuk memenuhi nafsu terhadap para istri mereka. Mereka tidak ingin mempunyai anak, di mana sebuah perkawinan mendasarkan tujuannya. Bagaimana selanjutnya, bahwa kamu adalah bukan mereka yang menentang perkawinan, seperti yang sudah diramalkan para rasul tentang kamu sejak dahulu [1 Tim. 4:1-4], ketika kamu mencoba menghilangkan dari perkawinan, arti perkawinan itu sendiri? Ketika hal mendasar itu dihilangkan dari sebuah perkawinan, maka suami-suami menjadi para pencinta yang memalukan, dan istri-istri menjadi pelacur, kamar pengantin menjadi rumah pelacuran, dan para ayah mertua menjadi gigolo.” (Against Faustus 15:7 [A.D. 400]).
sumber: http://www.katolisitas.org