Minggu, 18 Desember 2011

Tujuan Perkawinan Dalam Islam



Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam. 
       Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
       Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.

Perkawinan adalah Fitrah Kemanusiaan
        Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).

A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi” .

B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat.” 
       Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku” 

Kedudukan Perkawinan dalam Islam
• Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar(mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon isterinya.
• Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
• Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan
• Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
• Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah.

Tujuan Perkawinan dalam Islam
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam. 

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. 

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.” 
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
       Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. 

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” . 

5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. 
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
Hikmah Perkahwinan
• cara yang halal untuk menyalurkanm nafsu seks.
• Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
• Memelihara kesucian diri
• Melaksanakan tuntutan syariat
• Menjaga keturunan
• Sebagai media pendidikan:
• Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
• Dapat mengeratkan silaturahim

Kemurnian di dalam perkawinan - Part3


X. Apa resikonya jika alat kontrasepsi tetap digunakan?
1. Mengakibatkan adanya resiko ketidaksetiaan dan melemahkan ikatan kasih antara suami istri
Mungkin ada banyak orang yang tidak menyadari, bahwa penggunaan alat kontrasepsi sedikit banyak melemahkan kasih suami istri. Sebab penggunaan alat kontrasepsi mengakibatkan suami istri tidak lagi memberikan diri yang total satu sama lain, dan hal ini akan mempengaruhi sikap keduanya di sisi kehidupan yang lain. Selain itu jika alat kontrasepsi digunakan semata untuk memenuhi dorongan seksual, maka resikonya adalah keduanya baik suami dan istri tidak terbiasa mengendalikan diri secara seksual. Jika suami dominan dalam hal ini, maka istri dapat merasa dipergunakan sebagai “alat/ obyek” daripada sebagai manusia. Jika ini terus berlanjut maka lama kelamaan hubungan antara suami istri dapat menjadi tawar.

2. Membuat nilai-nilai moral menurun dalam masyarakat, terutama pada generasi muda
Selain membahayakan keutuhan keluarga, penggunaan alat kontrasepsi juga dapat berakitab buruk bagi moralitas masyarakat, terutama kaum muda. Paus Paulus VI mengajarkan tentang hal ini demikian,
17. “Orang- orang yang bertanggungjawab dapat menjadi benar- benar meyakini kebenaran dari ajaran yang dijabarkan Gereja dalam hal ini, jika mereka merenungkan akibat- akibat dari metoda- metoda dan rencana- rencana pengontrolan kelahiran secara artifisial. Pertama- tama, biarlah mereka mempertimbangkan bagaimana tindakan- tindakan ini dapat membuka lebar- lebar jalan kepada ketidaksetiaan dalam perkawinan dan pemerosotan standar moral secara umum…. secara khusus generasi muda, yang sangat terekspos pada godaan ini… Efek lain yang mengkhawatirkan adalah seorang laki- laki yang tumbuh terbiasa dengan penggunaan metoda kontraseptif dapat melupakan penghormatan yang selayaknya diberikan kepada seorang wanita, dan, tidak menghiraukan keseimbangan fisik dan emosinya, pria itu merendahkannya menjadi sebuah alat semata untuk pemuasan hasratnya sendiri, tidak lagi meanggapnya sebagai pasangan yang seharusnya ia lingkupi dengan perhatian dan kasih sayang (Humanae Vitae 17).
Betapa ‘nubuat’ ini telah terpenuhi di jaman sekarang ini, dengan kenyataan meningkatnya jumlah perceraian, hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut penelitian di link ini, silakan klik, di tahun 2000, tingkat perceraian di Indonesia mencapai 12 % (masih lebih rendah jika dibandingkan dengan di  Amerika yang mencapai sekitar 50 %); dan 70% alasan gugatan cerai adalah perselingkuhan/ ketidaksetiaan dalam perkawinan. Ditambah lagi situasi sekarang ini di mana banyak terjadi kehamilan di luar nikah, yang disebabkan karena hubungan seksual sebelum perkawinan.

3. Memberikan efek yang buruk terhadap kesehatan
Selanjutnya, alat kontrasepsi tertentu, seperti pil KB, spiral ataupun sterilisasi dapat mengakibatkan resiko penyakit serius pada istri. Silakan anda klik di link ini untuk membacanya, http://onemoresoul.com/contraception/risks-consequences/what-a-woman-should-know-about-birth-control.html. Contohnya, seperti disebutkan dalam link tersebut:
Pil KB meningkatkan resiko kanker payudara sebesar 40 %, jika pil dikonsumsi sebelum wanita melahirkan anak yang pertama. Resiko akan naik sebesar 70 % jika pil dikonsumsi empat tahun atau lebih sebelum anak pertamanya lahir. Efek negatif lainnya adalah tekanan darah tinggi, penggumpalan darah, stroke, serangan jantung, depresi, bertambahnya berat badan, dan migraine. Bagi pengidap sakit gula, maka kadar gula dalam darah dapat naik. Seorang yang stop minum pil KB tidak segera memperoleh kesuburannya, dapat menunggu setahun atau lebih. Pil KB meningkatkan resiko kanker payudara, kanker hati dan kanker leher rahim…..”
Spiral/ IUD dapat mengakibatkan uterine perforation (pelubangan saluran kencing), hysterectomy (pembuangan rahim), infeksi pelvic atau tubo-ovarian abscess. Dan jika terjadi kehamilan di kemudian hari, maka terdapat resiko bayi terbentuk bukan di rahim tetapi di tuba fallopi.
Sterilisasi permanen pada wanita dapat mengakibatkan perdarahan, turunnya libido, meningkatnya resiko hysterectomy, dan penyesalan telah melaksanakan sterilisasi. Pada pria, sterilisasi/ vasektomi dapat meningkatkan antibodi anti-sperma, artinya tubuh mereka dapat mengenali sperma sebagai “musuh”, sehingga ada resiko penyakit auto immune, dan kanker prostat…..
Agaknya prinsip yang diajarkan oleh St. Agustinus dapat kita ingat, yaitu: “Jika kamu berontak melawan alam maka alam akan berontak melawan kamu.”

XI. Kesimpulan
Kemurnian merupakan penggabungan seksualitas di dalam kepribadian seseorang, dan ini melibatkan pengendalian diri ((lih. KGK 2395)). Dalam perkawinan, kemurnian hubungan suami istri dinyatakan dengan menjaga kesatuan esensial antara persatuan suami istri (union) dan kemungkinan penciptaan (procreation), sebab hanya dengan cara demikian hubungan suami istri dapat sampai pada kepenuhannya dalam hal kasih sejati yang timbal balik, dan orientasinya kepada panggilan mulia sebagai orang tua[2] yang menyalurkan kehidupan kepada anak- anak mereka dan mendidik anak- anak mereka. Hanya dengan melaksanakan hubungan kasih dalam kemurnian inilah, suami istri dapat menemukan arti panggilan hidup mereka dan menemukan kebahagiaan mereka yang sejati di dalam Tuhan.
Pada akhirnya, makna akhir dari penciptaan kita sebagai laki- laki dan perempuan ditemukan di dalam panggilan kita untuk menyatakan dalam di dalam tubuh kita, persekutuan kita dengan Allah Trinitas di dalam Kristus dan melalui Kristus. Perkawinan bukan merupakan tujuan akhir persekutuan manusia, tetapi hanya persiapan untuk perkawinan/ persatuan ilahi kita dengan Allah di akhir nanti. Hubungan kasih suami istri di dunia ini hanya merupakan gambaran samar- samar akan persekutuan antara kita manusia dengan Allah, yang akan mencapai kesempurnaannya di surga kelak.
jawaban ini dapat membantu.


sumber: http://www.katolisitas.org

Kemurnian di dalam perkawinan - Part2

VI. Makna kesuburan dalam Perkawinan
Adalah suatu persepsi yang umum didengar sekarang, bahwa hadirnya anak identik dengan biaya. Walaupun pandangan ini tidak salah total, namun sesungguhnya pandangan ini menyedihkan, sebab dapat mengakibatkan suami dan istri tidak lagi memaknai hubungan kasih suami istri seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Akibatnya kadang kehadiran anak lebih dianggap sebagai beban daripada berkat. Padahal, Katekismus mengajarkan:
KGK 2366     Kesuburan adalah suatu karunia, sebuah tujuan perkawinan, sebab kasih suami istri secara kodrati cenderung berbuah. Seorang anak tidak datang dari luar sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada kasih timbal balik antara pasangan suami istri, tetapi lahir dari inti kasih yang saling memberi, sebagai buahnya dan kepenuhannya. Oleh sebab itu, Gereja, yang berpihak kepada kehidupan, mengajarkan bahwa “setiap dan masing- masing tindakan hubungan suami istri tetap ditujukan kepada penciptaan (procreation).” (Humanae Vitae 11). “Ajaran ini, yang diajarkan dalam banyak kesempatan oleh Magisterium, berdasarkan atashubungan yang tak terpisahkan, seperti yang ditentukan oleh Tuhan, yang tidak dapat dilanggar oleh manusia atas inisiatifnya sendiri, antara makna persatuan(unitive) dan penciptaan (procreative) yang keduanya melekat pada tindakan hubungan suami istri.” (Humanae Vitae 12, lih. Paus Pius XI, Casti Connubii).
KGK 2367    Dipanggil untuk memberikan kehidupan, pasangan suami istri mengambil bagian di dalam kuasa penciptaan dan kebapa-an Tuhan (lih. Ef 3:14; Mat 23:9). Pasangan suami istri harus menganggapnya sebagai panggilan mereka untukmenyalurkan kehidupan manusia dan untuk mendidik anak- anak mereka;mereka harus menyadari bahwa dengan demikian mereka bekerjasama dengan kasih Allah Pencipta dan dalam arti tertentu, menjadi penerjemahnya. Mereka akan memenuhi tugas ini dengan cara manusiawi dan tanggungjawab Kristiani.” (Gaudium et Spes 50)
Tanggungjawab Kristiani di sini berkaitan dengan pengaturan kelahiran. Tentang hal ini, Katekismus mengajarkan:
KGK 2368 Satu aspek khusus dari tanggung jawab ini menyangkut pengaturan kehamilan [keluarga berencana]. Karena alasan-alasan yang sah suami isteri dapat mengusahakan jarak antara kelahiran anak-anaknya. Terserah kepada mereka untuk menguji, apakah kerinduan mereka itu bukan berdasarkan pada egoisme, melainkan pada kebesaran jiwa yang sesuai dengan tugas orang-tua yang bertanggung jawab. Di samping itu mereka akan mengatur sikap mereka sesuai dengan ukuran kesusilaan yang obyektif:
Maka, bila soalnya bagaimana menyelaraskan cinta kasih suami isteri dengan penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab, moralitas cara bertindak tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus atau penilaian alasan-alasannya saja. Moralitas itu harus ditentukan berdasarkan norma-norma yang obyektif, yang diambil dari kodrat manusia dan tindakan- tindakannya, dan norma-norma itu menghormati arti sepenuhnya yang ada pada saling penyerahan diri (mutual self-giving) dan pada penciptaan manusia (human procreation), dalam konteks cinta kasih sejati. Itu semua tidak mungkin, kalau keutamaan kemurnian dalam perkawinan tidak diamalkan dengan tulus hati.” (Gaudium et Spes 51)

VII. Cara konkret untuk melaksanakan kemurnian dalam perkawinan
Untuk menerapkan kemurnian dalam perkawinan, diperlukan rasa saling pengertian, saling menghormati antara suami dan istri; dan di atas semua itu adalah pengendalian diri. Namun hal ini tidaklah mustahil, jika pasangan mengandalkan pertolongan Roh Kudus sebab salah satu buah Roh Kudus adalah pengendalian diri (Gal 5:23). Cara untuk menerapkan secara praktis kemurnian dalam perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan KB alamiah:
Artinya, jika untuk alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pasangan tidak menginginkan tambahan kelahiran anak, maka keduanya dapat pantang berhubungan seksual pada saat masa subur istri. Cara pengamatan masa subur istri yang dianjurkan adalah metoda Billings, yang dapat diamati dengan metoda Creighton. Hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Di luar masa pantang, suami dan istri dapat mengekspresikan kasih yang penuh, sesuai dengan yang dikehendaki Allah yaitu yang melibatkan aspek union dan procreation.
2. Menggunakan waktu pantang, untuk memusatkan perhatian kepada Tuhan.
Rasul Paulus menasehati, “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.” (1 Kor 7:5)
3. Mengusahakan ungkapan kasih yang tulus yang bukan hubungan seksual.
Suami dan istri harus mengusahakan komunikasi yang baik dan berusaha mengungkapkan kasih yang tulus, yang tidak terbatas pada hubungan seksual. Gunakan waktu yang ada untuk lebih mengenal pasangan ataupun menyenangkan hati pasangan dengan cara- cara sederhana.

VIII. Mengapa kita mengikuti kehendak Tuhan dalam hal kemurnian?
Kita perlu hidup murni adalah karena kemurnian berhubungan dengan panggilan kita sebagai umat beriman untuk hidup kudus. Sebab tanpa kekudusan tak seorangpun dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Kita harus mengingat bahwa setelah kita semua dibaptis, kita semua menerima Roh Kudus, dan tubuh kita menjadi tempat kediaman Roh Kudus (lih. 1Kor 3:16; 6:19). Akibatnya tubuh kita ini bukan lagi milik kita sendiri, namun adalah milik Kristus. “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Kor 6:20). Selayaknya kita mengikuti kehendak Tuhan yang telah menebus segala dosa kita, dengan memperlakukan tubuh kita ini sesuai dengan kehendak-Nya, agar dengan demikian, kita memuliakan Tuhan dengan tubuh kita, bukan saja dengan hati dan jiwa kita. Bagi para suami dan istri, menjaga kemurnian tubuh pertama- tama adalah dengan melakukan hubungan seksual  sesuai dengan rencana Tuhan: yaitu untuk mempersatukan suami istri (union) dan untuk menyalurkan kehidupan (pro-union). Dengan menerapkan kedua tujuan ini,  suami istri melaksanakan panggilan hidup mereka sesuai dengan kehendak Tuhan.

IX. Pelanggaran terhadap martabat perkawinan
Pada bagian ini, kita akan membahas tentang beberapa penyimpangan dan pelanggaran terhadap martabat perkawinan, seperti: 1) perzinahan, 2) perceraian, 3) poligami, 4) incest, 5) pelecehan seksual, 6) kumpul kebo, 7) dan penggunan kontrasepsi – yang akan dibahas secara tersendiri.
1. Perzinahan/ perselingkuhan
a. Perzinahan menurut Kitab Suci:
Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.” (Luk 16:18, lih. Mrk 10:11)
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28)
b. Perzinahan menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK):
KGK 2380     Perzinahan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Kalau dua orang, yang paling kurang seorang darinya telah kawin, mengadakan bersama hubungan seksual, walaupun hanya bersifat sementara, mereka melakukan perzinahan. Kristus malah mencela perzinahan di dalam roh (Bdk. Mat 5:27-28). Perintah keenam dan Perjanjian Baru secara absolut melarang perzinahan (Bdk. Mat 5:32; 19:6; Mrk 10:11; 1 Kor 6:9-10). Para nabi mengritiknya sebagai pelanggaran yang berat. Mereka memandang perzinahan sebagai gambaran penyembahan berhala yang berdosa (Bdk.Hos 2:7;Yer 5:7; 13:27).
KGK 2381    Perzinahan adalah satu ketidakadilan. Siapa yang berzinah, ia tidak setia kepada kewajiban-kewajibannya. Ia menodai ikatan perkawinan yang adalah tanda perjanjian; ia juga menodai hak dari pihak yang menikah dengannya dan merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian, yang adalah dasarnya. Ia membahayakan martabat pembiakan manusiawi, serta kesejahteraan anak-anak, yang membutuhkan ikatan yang langgeng dari orang-tuanya.
2. Perceraian
Tuhan Yesus mengajarkan bahwa pada awal mula penciptaan Allah menghendaki agar perkawinan menjadi tak terceraikan (lih. KGK 2382, Mt 5:31-32;19-3-9; Mrk 10:9; Luk 16:18; 1 Kor 7:10-11). Jika karena alasan yang sangat mendesak (misalnya hal- hal yang mengancam keselamatan, dst.) seperti yang telah diatur dalam hukum kanon, dapat saja diperbolehkan adanya perpisahan antar pasangan; namun ikatan perkawinan tetap ada (lih. KGK 2383). Kekecualian hanya dapat diberikan jika ikatan perkawinan dapat dibuktikan sebagai tidak sah dari awalnya, sehingga dalam hal ini, Tribunal keuskupan dapat memberikan ijin pembatalan perkawinan.
Tentang perceraian katekismus mengajarkan:
KGK 2384 Perceraian merupakan pelanggaran besar melawan hukum kodrat. Ia menyatakan pengrusakan perjanjian yang melaluinya pasangan secara bebas telah berjanji untuk hidup bersama sampai mati. Perceraian melukai perjanjian keselamatan, yang ditandai oleh perkawinan yang sakramental itu. Memasuki ikatan perkawinan yang baru, meskipun itu diakui oleh hukum sipil, menambah parah kerusakan itu: pasangan yang menikah tersebut kemudian berada di dalam keadaan perzinahan yang sifatnya publik dan permanen.
Jika seorang suami, berpisah dari istrinya, menghapiri perempuan lain, ia menjadi seorang pezinah, sebab ia membuat perempuan itu berzinah; dan perempuan yang hidup dengannya menjadi pezinah, sebab ia telah mengambil suami orang lain menjadi miliknya. (St. Basil, Moralia 73, 1 PG, 849-852)
3. Poligami
Poligami bertentangan dengan persekutuan perkawinan yang direncanakan Allah, sebab poligami menentang persamaan martabat laki-laki dan perempuan yang harus saling memberikan diri secara total kepada pasangannya (KGK 2387). Menarik untuk diamati, walaupun diperbolehkan oleh suatu agama/ adat tertentu, adalah tak seorang wanitapun yang senang dimadu.
KGK 2387 Orang dapat membayangkan, betapa besar konflik batin bagi seorang yang hendak bertobat kepada Injil, karena ia harus melepaskan satu atau beberapa isteri, yang dengannya ia telah hidup bertahun-tahun lamanya sebagai suami isteri.Tetapi poligami tidak dapat diperdamaikan dengan hukum susila, karena ia “melanggar secara radikal” persatuan perkawinan. “Poligami secara langsung mengingkari rencana Allah, yang diwahyukan sejak awal mula; sebab berlawanan dengan kesamaan martabat pribadi pria maupun wanita; karena dalam perkawinan mereka menyerahkan diri dalam cinta kasih yang menyeluruh, maka dari itu juga unik dan eksklusif” (FC 19; Bdk. GS 47,2.) Seorang Kristen, yang sebelum Pembaptisan mempunyai beberapa isteri berada di bawah kewajiban keadilan yang berat untuk memenuhi kewajiban finansialnya terhadap mantan isteri-isterinya dan anak-anaknya.
4. Incest
Perkawinan antar sesama saudara yang masih berada dalam tingkatan tertentu dilarang oleh Gereja (lih. KGK, 2388), karena tidak sesuai dengan rencana Allah. Yang dilarang adalah hubungan darah lurus (misal bapak dengan anak ataupun ibu dengan anak- lih. Kan. 1091 – § 1) dan hubungan kolateral menyamping sampai tingkat ke-4 (Kan. 1091 – § 2).
KGK 2388 Perbuatan sumbang ialah hubungan intim antara sanak-saudara atau ipar, baginya perkawinan dilarang (Bdk. Im 18:7-20.). Santo Paulus mengecam pelanggaran yang sangat besar ini: “Memang orang mendengar bahwa ada percabulan di antara kamu… yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya… Dalam nama Yesus Tuhan kita, kami hendak menyerahkan orang ini kepada iblis, sehingga binasa tubuhnya” (1 Kor 5:1.4-5). Perbuatan sumbang itu merusak hubungan di dalam keluarga dan merupakan satu langkah mundur menuju tingkah laku hewani.
5. Pelecehan seksual
Pelecehan seksual yang dimaksud di sini adalah tindakan tak senonoh yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak- anak yang dipercayakan kepada mereka.
KGK, 2389.    Bersama perbuatan sumbang itu perlu dihubungkan jugapelanggaran seksual dari orang dewasa terhadap anak-anak atau kaum muda yang dipercayakan kepada pemeliharaan mereka. Dalam hal ini ditambah lagi satu pelanggaran berat terhadap keutuhan badani dan moral dari anak-anak muda itu, yang dengan demikian tetap dibebani sepanjang hidupnya. Dalam kasus ini terkandung juga satu pelanggaran berat terhadap tanggung jawab pendidikan.
6. “Kumpul kebo”
Kumpul kebo yang merupakan hubungan bebas antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan, yang melibatkan keintiman seksual. Tindakan ini merendahkan martabat perkawinan, karena mereka merusak konsep keluarga, melemahkan nilai kesetiaan, dan demikian melawan hukum moral. Termasuk di sini adalah tindakan mempunyai ’simpanan’, menolak ikatan perkawinan, menolak untuk membuat komitmen (lih. KGK 2390); ataupun membuat situasi ini sebagai semacam “perkawinan coba- coba” (lih. KGK 2391).
KGK 2390 Suatu hubungan liar terbentuk, kalau seorang pria dan seorang wanita menolak untuk memberi satu bentuk hukum yang resmi kepada hubungan mereka yang menyangkut juga keintiman seksual. Ungkapan “cinta bebas” itu bersifat menyesatkan: apakah artinya jalinan cinta, di mana kedua belah pihak tidak mempunyai komitmen satu sama lain dan dengan demikian memberikan kesaksian, bahwa mereka tidak percaya sepenuhnya kepada mitranya atau diri sendiri atau masa depan?
Ungkapan “hubungan liar” menggambarkan berbagai macam situasi: konkubinat, penolakan perkawinan sebagai lembaga resmi dan ketidakmampuan mengikat diri pada kewajiban-kewajiban jangka panjang (Bdk.
 Familiaris Consortio 81). Semua situasi ini menodai martabat perkawinan; mereka merusakkan pikiran dasar mengenai keluarga; mereka memperlemah pengertian benar tentang kesetiaan. Mereka melanggar hukum moral: persetubuhan secara eksklusif hanya boleh dilakukan di dalam perkawinan; di luar perkawinan ia [persetubuhan] selalu merupakan dosa berat dan mengucilkan dari penerimaan komuni kudus.
KGK 2391 Dewasa ini banyak orang yang bermaksud untuk kawin, menuntut semacam hak bisa mencobainya. Walaupun kehendak untuk kawin itu pasti, namun suatu kenyataan ialah bahwa hubungan seksual yang terlalu awal “tidak menjamin sama sekali kejujuran dan kesetiaan hubungan antar manusia yakni pria dan wanita, apalagi melindungi mereka dari tindakan sesuka hati dan dari nafsu berahi” (CDF, Perny. Persona humana 7). Persatuan badani hanya dapat dibenarkan secara moral, apabila antara pria dan wanita telah diciptakan satu persekutuan hidup yang definitif. Cinta kasih manusiawi tidak membiarkan yang hanya “coba-coba”. Ia menghendaki penyerahan diri timbal balik yang tetap dan utuh dari kedua belah pihak (Bdk. Familiaris Consortio 80)
IX. Bolehkah menggunakan alat kontrasepsi?
Penggunaan alat kontrasepsi adalah merupakan bentuk pelanggaran terhadap martabat perkawinan. Gereja Katolik, berpegang teguh pada Tradisi Suci, menolak penggunaan segala bentuk alat kontrasepsi, karena penggunaannya memisahkan kedua tujuan perkawinan, dengan hanya menginginkan persatuan suami istri namun menolak kemungkinan penciptaan kehidupan baru. Maka kontrasepsi menyalahi makna kasih yang kreatif, dan menyerang arti sebuah perkawinan.
1. Dasar dari Magisterium Gereja:
a. Casti Connubii, surat ensiklik Paus Pius XI (1930)
Any use whatever of matrimony, exercised in such a way that the act is deliberately frustrated in its natural power to generate life, is an offense against the law of God and of nature, and those who indulge in such acts are branded with the guilt of grave sin.” (Casti Connubii, 56), terjemahannya:
“Tindakan apapun dari perkawinan, yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang disengaja menelantarkan kodrat dari kekuatan untuk memberikan kehidupan, adalah bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum kodrat, dan kepada yang melakukan perbuatan tersebut dicap dengan kesalahan dosa berat.”
b. Humanae Vitae, surat ensiklik Paus Paulus VI (1968)
Penggunaan metoda pengendalian kelahiran yang tidak dapat dibenarkan
14. Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan prokreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun itu benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar.
2. Dasar dari Tradisi Suci / Tulisan para Bapa Gereja:
a. The Letter of Barnabas [70-90 AD] Epistle of Barnabas
“Lebih lanjut, Musa telah dengan benar membenci tikus (menurut konteks teks dalam Im. 11:29). Karena dia bermaksud, “Engkau tidak boleh menyerupai mereka yang kita dengar melakukan kejahatan dengan mulut mereka, dengan tubuh mereka melalui ketidakmurnian (hubungan seksual secara oral); juga engkau tidak diperkenankan bergabung (bersatu/ berhubungan seksual) dengan para wanita yang tidak kudus yang telah melakukan perbuatan tak bermoral dengan mulut, dengan tubuh, melalui ketidakmurnian.” (Surat Barnabas 10:8 [74 M] )
b. Clement of Alexandria [150-215 AD] Who is the Rich Man That Shall Be Saved?
“Hubungan sanggama yang dilakukan dengan tujuan di luar tujuan untuk melahirkan anak-anak adalah perbuatan yang melukai alam.” (ibid., 2:10:95:3).
c. Clement of Alexandria [150-215 AD] Exhortation to the Heathen (Chapter 10)
“Oleh karena berketurunan adalah institusi ilahi, maka benih kehidupan (sperma) tidak untuk diejakulasikan dengan sia-sia, tidak untuk dirusak, dan tidak untuk dibuang.” (The Instructor of Children 2:10:91:2 [A.D. 191]).
d. Caius [180-240 AD] Fragments
“Siapakah dia yang tidak dapat memperingatkan bahwa tak seorang wanita pun diperbolehkan mengkonsumsi suatu cairan atau ramuan tertentu supaya ia tidak dapat mengandung atau mengutuk dalam dirinya sendiri suatu kodrat alam di mana Tuhan menghendaki supaya ia menjadi subur dan produktif? Dari banyaknya jumlah kemungkinan ia mengandung dan melahirkan, maka sebanyak itulah juga ia akan dinyatakan bersalah, dan kecuali dia menjalani suatu pertobatan yang sungguh-sungguh, dia akan dikutuk dengan kematian kekal di neraka. Jika seorang wanita tidak ingin mempunyai anak, biarlah ia mengikat suatu kesepakatan religius dengan suaminya, karena tidak berhubungan seksual adalah satu-satunya cara untuk menjadi steril bagi seorang wanita Kristen.” (Sermons 1:12 [A.D. 522]).
e. Lactantius [290-350 AD] Divine Institutes, Book I
“Tuhan telah mengaruniai kita mata bukan untuk melihat dan menginginkan kenikmatan, tetapi untuk melihat perbuatan-perbuatan yang dilakukan demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, demikian juga alat kelamin (atau dalam bahasa Inggrisnya adalah ‘genital’ yang akar katanya adalah ‘generating’ yaitu ‘menciptakan’] sebagai bagian tubuh, seperti diajarkan kepada kita dari namanya, telah kita terima bukan untuk tujuan yang lain selain untuk menciptakan /melahirkan keturunan.” (ibid., 6:23:18).
f. Lactantius [290-350 AD] Divine Institutes, Book VI
“Beberapa orang mengeluh terhadap ketidakmampuan ekonomi / pemenuhan kebutuhan hidup, dan menganggap bahwa mereka tidak cukup mampu secara ekonomi untuk membesarkan lebih banyak anak, walaupun sebenarnya, kecukupan kebutuhan hidup sesungguhnya ada dalam kemampuan mereka….atau Tuhan tidak setiap hari membuat yang kaya menjadi miskin dan yang miskin menjadi kaya. Maka dari itu, jika seseorang atas dasar alasan-alasan kemiskinan menjadi tidak mampu untuk membesarkan anak, adalah lebih baik baginya untuk pantang melakukan hubungan seksual dengan istrinya.” (Divine Institutes 6:20 [A.D. 307]).
g. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 28 on the Gospel of Matthew
“Dalam kebenaran, semua orang tahu bahwa mereka yang berada di bawah cengkeraman penyakit ini (penyakit dosa menginginkan milik orang lain dengan iri hati] mengalami kelelahan spiritual, bahkan terhadap usia lanjut ayah mereka [mengharap ayah mereka meninggal supaya mereka memperoleh warisan], dan hal-hal yang manis dan secara umum merupakan dambaan, yaitu mempunyai anak, mereka nilai sebagai sesuatu yang menyedihkan dan bukan sesuatu yang layak disambut dengan gembira. Banyak orang yang setidaknya memiliki pandangan semacam itu dalam hatinya, bahkan telah mengeluarkan uang untuk bisa menjadi tidak punya anak, dan telah memutilasi alam, tidak hanya membunuh bayi-bayi yang akan / baru lahir, tetapi bahkan berbuat hal-hal yang menghambat / mencegah terjadinya awal dari kehidupan bayi-bayi tersebut.” (Homilies on Matthew 28:5 [A.D. 391]).
h. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 62 on the Gospel of Matthew
“Orang yang telah memutilasi dirinya sendiri, pada kenyataannya, menanggung resiko kutukan, seperti Rasul Paulus mengatakan, “Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya!” (Gal 5:12). Dan adalah sangat beralasan, sebab orang seperti itu sebenarnya sedang mencoba untuk melakukan perbuatan seorang pembunuh, dan memberi kesempatan kepada mereka yang menjelek-jelekkan ciptaan Tuhan, dan membuka mulut para Manicheans, dan bersalah atas perbuatan yang melawan hukum seperti mereka yang memutilasi dirinya sendiri di antara orang-orang Yunani. Karena memotong anggota-anggota tubuh kita sendiri adalah sejak semula suatu pekerjaan agen-agen kegelapan dan sarana dari si Setan, sehingga mereka dapat membawa ke permukaan suatu laporan yang buruk terhadap pekerjaan-pekerjaan Tuhan, sehingga mereka dapat menodai mahluk hidup, membebankan kesalahan bukan kepada pilihan, tetapi kepada sifat-sifat alamiah anggota tubuh kita, bagian yang lebih besar dari mereka dapat berdosa dalam rasa aman sebagai tidak bertanggung jawab, sehingga dua kali lipat menodai mahluk hidup ini, baik melalui pemotongan/ mutilasi anggota-anggota tubuh maupun melalui penghambatan/ perintangan dorongan pilihan bebas atas nama perbuatan-perbuatan baik” (ibid., 62:3).
i. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 24 on Romans
“Mengapa kamu menabur di mana ladangnya ingin memusnahkan buahnya, di mana terdapat obat-obat untuk sterilisasi [kontrasepsi oral], di mana terdapat pembunuhan sebelum kelahiran? Engkau bahkan tidak ingin membiarkan seorang pelacur tetap menjadi pelacur, tetapi engkau menjadikannya seorang wanita pembunuh pula. Sesungguhnya, itu adalah lebih buruk daripada pembunuhan, dan aku tidak tahu bagaimana harus menyebutnya, karena ia tidak membunuh yang telah terbentuk, melainkan mencegah pembentukannya. Lalu apakah itu namanya? Apakah engkau mengutuk karunia Tuhan dan melawan hukum-hukum alam-Nya? Tetapi kejahatan itu….persoalan itu masih nampak diacuhkan/ diabaikan oleh banyak pria lajang bahkan juga oleh pria-pria beristri. Di dalam pengabaian oleh para pria yang menikah ini, masih ada kejahatan yang lebih besar, karena kemudian racun dipersiapkan, bukan untuk melawan rahim dari seorang pelacur, tetapi melawan istrimu yang terluka. Berhadapan dengan dia adalah tipuan-tipuan yang tak terhitung banyaknya ini” (Homilies on Romans 24 [A.D. 391]).
j. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 5 on Galatians
“Amatilah betapa pahitnya Paulus berbicara menentang penipu-penipu mereka….” Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya’ [Gal. 5 : 12]…Terhadap perbuatan ini dia mengutuk mereka, dan maksudnya adalah sebagai berikut: ‘Untuk mereka aku tidak punya keprihatinan khusus, “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi” [Titus 3:10]. Jika mereka mau, biarlah mereka tidak hanya disunat tetapi dimutilasi. ‘Lalu di mana mereka yang berani memutilasi dirinya sendiri, melihat bahwa mereka mewarisi kutukan para rasul, dan menuduh karya tangan Tuhan, dan mengambil bagian bersama para Manichees?” (Commentary on Galatians 5:12 [A.D. 395]).
k. Jerome, St [347-420 AD] Against Jovinianus (Book I)
“Tetapi aku heran mengapa dia [bidat Jovinianus] menyajikan kepada kita Yehuda dan Tamar sebagai contoh, kecuali kemungkinan bahkan pelacur memberikan dia kesenangan; atau Onan, yang dibunuh karena dia membenci benih kakaknya. Apakah dia membayangkan bahwa kita menyetujui berbagai hubungan seksual kecuali sebagai prokreasi keturunan?” (Against Jovinian 1:19 [A.D. 393]).
l. Jerome, St [347-420 AD] Against the Pelagians (Book I)
“Kamu mungkin melihat sejumlah wanita yang sudah menjadi janda sebelum mereka menjadi istri. Wanita-wanita lainnya meminum minuman pembuat steril dan membunuh manusia yang belum sempat dilahirkan, [dan beberapa lagi melakukan aborsi]” (Letters 22:13 [A.D. 396]).
m. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] On the Good of Marriage
“Sebab aspek hubungan seksual yang diperlukan untuk memperoleh keturunan saja sudah menjadikan sebuah perkawinan berharga. Namun jika hubungan itu berlanjut ke hal-hal yang melampaui keperluan untuk memperoleh keturunan, maka hal itu tidak lagi mengikuti alasan yang benar tetapi mengikuti hawa nafsu. Dan hal itu berkaitan dengan karakter sebuah perkawinan…..untuk melakukan hal-hal itu kepada pasangannya supaya ia tidak melakukan dosa yang terkutuk [perselingkuhan di luar perkawinan]….Mereka tidak boleh memalingkan diri dari belas kasihan Allah…..dengan mengubah cara-cara alamiah kepada cara-cara yang melawan alam, yang menjadi lebih terkutuk ketika itu dilakukan dalam relasi antara suami dan istri. Karena, jika cara-cara alamiah ketika itu dilakukan melampaui batas tujuan perkawinan, yaitu bila, melampaui alasan keperluan untuk menghasilkan keturunan, adalah masih bisa diampuni bila dilakukan pada seorang istri, dan menjadi dosa yang dikutuk bila dilakukan kepada seorang pelacur; bahwa hal yang melawan alam itu adalah sangat buruk bila dilakukan kepada pelacur, tetapi menjadi lebih buruk lagi bila dilakukan kepada istri. Begitu besarnya kuasa ketentuan hukum Sang Pencipta, dan hukum alam mahluk ciptaan…sehingga, ketika seorang pria ingin menggunakan bagian tubuh dari istrinya, hal itu tidak diperkenankan untuk tujuan ini [hubungan seksual secara oral atau anal], sang istri akan merasa lebih dipermalukan, jika ia menderita karena mengalami hal itu pada dirinya sendiri, daripada jika itu terjadi pada wanita lain.” (The Good of Marriage 11–12 [A.D. 401]).
n. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] On the Morals of the Manichaeans
“Hal ini membuktikan kepadamu bahwa kalian [para Manicheans] setuju untuk mempunyai istri, bukan sebagai sarana prokreasi untuk melahirkan keturunan, tetapi sebagai sarana pemuasan nafsu. Dalam perkawinan, seperti yang dinyatakan dalam hukum perkawinan, pria dan wanita bersatu untuk menghasilkan keturunan. Oleh karena itu, barangsiapa membuat kegiatan prokreasi menjadi suatu dosa yang lebih besar daripada persetubuhan, menolak perkawinan dan membuat wanita pasangannya bukan menjadi seorang istri tetapi seorang wanita simpanan, yang untuk sejumlah imbalan yang diberikan kepadanya disatukan dengan pria pasangannya itu untuk memuaskan nafsunya.” (The Morals of the Manichees 18:65 [A.D. 388]).
o. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book XXII)
“Karena hukum abadi, yaitu kehendak Allah Pencipta segala mahluk, yang menganjurkan konservasi tatanan alam, tidak untuk melayani hawa nafsu, melainkan untuk memperhatikan kelangsungan ras manusia, mengijinkan kesenangan tubuh fana untuk dilepaskan dari kontrol nalar di dalam hubungan seksual, hanya demi tujuan prokreasi untuk melahirkan keturunan.” (ibid., 22:30).
p. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] Tractate 8 (John 2:1-4)
“Kalian para Manicheans membuat para pengawasmu menjadi pelaku-pelaku perselingkuhan dari istri-istri mereka sendiri, ketika mereka berlaku sedemikian agar jangan sampai para wanita dengan siapa mereka melakukan hubungan seksual, menjadi mengandung. Mereka mengambil istri menurut hukum perkawinan dengan surat peringatan yang mengumumkan bahwa perkawinan diikat dalam sebuah kontrak untuk menghasilkan keturunan, dan kemudian, takut akan hukummu [yang menentang hal mengasuh dan membesarkan anak]….mereka berhubungan seksual dalam sebuah hubungan yang terlarang dan memalukan hanya untuk memenuhi nafsu terhadap para istri mereka. Mereka tidak ingin mempunyai anak, di mana sebuah perkawinan mendasarkan tujuannya. Bagaimana selanjutnya, bahwa kamu adalah bukan mereka yang menentang perkawinan, seperti yang sudah diramalkan para rasul tentang kamu sejak dahulu [1 Tim. 4:1-4], ketika kamu mencoba menghilangkan dari perkawinan, arti perkawinan itu sendiri? Ketika hal mendasar itu dihilangkan dari sebuah perkawinan, maka suami-suami menjadi para pencinta yang memalukan, dan istri-istri menjadi pelacur, kamar pengantin menjadi rumah pelacuran, dan para ayah mertua menjadi gigolo.” (Against Faustus 15:7 [A.D. 400]).

sumber: http://www.katolisitas.org

Kemurnian di dalam perkawinan


I. Sudah kawin berarti tidak usah menjaga kemurnian?
Sering orang berpikir bahwa setelah seseorang menikah artinya sudah tidak perlu menjaga kemurnian lagi sebab sudah ‘terlanjur tidak murni’. Ini adalah pemikiran yang keliru. Sebab kebajikan kemurnian tidak terbatas pada orang- orang yang tidak ataupun belum menikah, tetapi pada semua orang. Mereka yang menikah dipanggil untuk melaksanakan kemurnian dalam perkawinan (conjugal chastity). Kemurnian di sini tidak untuk diartikan keperawanan secara fisik, namun lebih secara rohani. Artinya, setiap pasangan dipanggil untuk dengan setia memberikan dirinya secara total kepada pasangannya, sebagai gambaran kasih Kristus kepada Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33). Suami harus mengasihi istrinya seperti mengasihi tubuhnya sendiri dan istri harus tunduk kepada suaminya. Sesuai dengan teladan Kristus yang menyerahkan nyawa-Nya untuk menguduskan jemaat, maka suami harus rela berkorban demi kasih kepada istrinya, demikian pula sebaliknya, istri terhadap suaminya. Sebab, baik suami maupun istri dipanggil untuk hidup saling mengasihi dan saling menguduskan.
Jadi kini pertanyaan seputar kemurnian di dalam perkawinan adalah:
Sejauh mana saya telah mengikuti teladan kasih Kristus yang total, dalam mengasihi pasangan saya? Apakah kasih saya kepada pasangan adalah kasih yang murni, atau kasih yang sesungguhnya tertuju kepada diri sendiri? Apakah hubungan seksual antara kami sebagai pasangan sudah mencerminkan kemurnian kasih?

II. Kasih yang murni dalam perkawinan
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa kasih suami istri haruslah merupakan kasih yang total, yang melibatkan tubuh jasmani, perasaan dan kerohanian. Kasih persekutuan antara suami istri sifatnya pribadi sekali, sehingga tidak bisa melibatkan pihak ketiga. Sebab persatuan jasmani antara keduanya harus menghantar kepada persatuan rohani yang tak terceraikan. Persatuan yang melibatkan penyerahan diri yang total antara suami dan istri ini, harus terbuka terhadap kemungkinan penciptaan kehidupan baru. Kasih yang lengkap inilah yang menjadi gambaran dari kasih Allah sendiri.
KGK 1643, “Cinta kasih suami istri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa;kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen”. (Familiaris Consortio 13).
Jadi kita ketahui bahwa sebenarnya ada tiga jenis pengalaman persatuan dalam hubungan kasih yang murni antara suami istri. Yang pertama adalah persatuan rohani; yaitu bahwa suami dan istri mengalami kesatuan hati dan jiwa di dalam Tuhan. Kedua adalah persatuan perasaan: aliran kasih antara seorang dan yang lainnya begitu kuatnya, sehingga seolah- olah ia dapat mendengarkan detak jantung pasangannya. Ketiga ialah persatuan jasmani, yaitu ketika secara seksual suami istri bersatu dalam satu tubuh.[1].
Maka hubungan suami istri yang murni sesuai dengan rencana Tuhan adalah hubungan yang sampai kepada persatuan rohani di dalam Tuhan. Dengan perkataan lain, tanpa persatuan rohani, hubungan suami istri tidak sampai pada kepenuhannya, sehingga mudah tergoyahkan. Hal ini sangatlah sesuai dengan kenyataan, sebab survey sendiri menyatakan bahwa perbedaan agama merupakan salah satu penyebab perceraian di Indonesia. Survey menunjukkan bahwa 90% dari pernikahan beda agama berakhir dengan perceraian (sumber: klik di sini). Walau tidak enak untuk didengar, tetapi sesungguhnya data ini merupakan fakta yang menunjukkan bahwa pengalaman kesatuan rohani merupakan sesuatu yang terpenting dalam kasih suami istri. Karena kasih suami istri harus menggambarkan kasih Allah itu sendiri, maka tanpa kesatuan rohani antara suami istri, akan sulitlah bagi mereka untuk terus bertahan di dalam kesatuan perkawinan. Karena tanpa kesatuan rohani, baik suami ataupun istri mempunyai gambaran sendiri- sendiri tentang perkawinan, dan ini dapat menimbulkan ketidakcocokan dalam hal- hal lainnya. Padahal persatuan rohani suami istri merupakan dasar bagi kesatuan kasih suami istri. Dalam kesatuan kasih inilah suami istri mengambil bagian dalam kehidupan kasih ilahi Allah sendiri; yaitu pada saat suami dan istri saling memberikan kasih yang total di dalam Kristus, dan kasih timbal balik ini terbuka kepada kemungkinan penciptaan kehidupan baru.

III. Hubungan seksual dalam Perkawinan
Dengan demikian, hubungan seksual dalam perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan suci, karena tidak hanya melibatkan tubuh tetapi juga jiwa. Sudah seharusnya, suami dan istri yang melakukan hubungan seksual menghayatinya tidak semata untuk kesenangan jasmani, tetapi lebih daripada itu: untuk menghayati makna kasih Allah yang telah mempersatukan mereka dan menggabungkan mereka dengan daya ilahi-Nya, baik dalam kasih-Nya maupun dalam rencana penciptaan-Nya.
Sudah seharusnya, suami istri mempunyai kesadaran akan makna yang luhur ini, dan dengan demikian menyadari bahwa tempat tidur adalah sebuah tempat yang kudus: “holy ground“, karena di sanalah secara khusus persatuan mereka sebagai suami istri diperbaharui, secara jasmani dan rohani. “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur….. (Ibr 13:4) Hubungan suami istri selayaknya merupakan pengulangan janji perkawinan, “Ya, saya bersedia untuk mengasihi engkau, dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit….. dan saya bersedia mengasihi dan menghormati engkau seumur hidup….
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian tentang hubungan seksual dalam perkawinan:
KGK 2362 “Maka dari itu tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal-balik, cara mereka saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur” (Gaudium et Spes 49). Seksualitas adalah sumber kegembiraan dan kesenangan:
“Sang Pencipta sendiri telah menentukan bahwa di dalam fungsi perkembangbiakan, pasangan mengalami kesenangan dan kepuasan tubuh dan jiwa. Oleh karena itu, pasangan tidak melakukan kejahatan dalam mencari kesenangan ini dan menikmatinya. Mereka menerima apa yang dimaksudkan oleh Pencipta mereka. Pada saat yang sama, pasangan harus tahu bagaimana untuk memperhatikan batas-batas pengekangan diri yang baik” (Pius XII, wejangan 29 Okt. 1951).
KGK 2363 Melalui persatuan suami isteri terlaksanalah tujuan ganda perkawinan: kesejahteraan suami isteri dan penyaluran kehidupan. Orang tidak dapat memisahkan kedua arti dan nilai perkawinan ini satu dari yang lain, tanpa merugikan kehidupan rohani pasangan suami isteri dan membahayakan kepentingan perkawinan dan masa depan keluarga.
Dengan demikian cinta suami isteri antara pria dan wanita berada di bawah tuntutan ganda yakni
 kesetiaan dan kesuburan.
Jadi selama kedua tujuan perkawinan (kesejahteraan suami istri/union dan kemungkinan kelahiran baru/procreation) dipenuhi, tentu dengan penghayatan akan kasih Allah yang mempersatukan, maka suami istri melakukan kemurnian kasih dalam perkawinan. Namun jika kedua tujuan itu dipisahkan, dan hanya dilakukan salah satu saja, maka motivasi kemurnian kasihnya patut dipertanyakan. Jika pasangan tetap memisahkan kedua tujuan ini maka sebenarnya mereka mempertaruhkan kebahagiaan perkawinan mereka sendiri.

IV. Komitmen untuk hidup dalam kemurnian dalam perkawinan
Mengingat akan makna yang luhur ini, maka kita tidak dapat atas kehendak sendiri memaknai hubungan seksual suami istri di luar makna yang telah direncanakan oleh Allah. Hubungan seksual antara suami dan istri memiliki dua tujuan yang tak terpisahkan, yaitu untuk mempersatukan suami istri dan untuk mengajak keduanya terbuka dalam karya penciptaan-Nya. Maka hubungan seksual yang benar dan sesuai dengan rencana Allah tidak dapat memisahkan keduanya: jangan dianggap sebagai sarana mempersatukan suami istri saja, atau sarana mendapatkan keturunan saja. Sebab jika demikian, maka menjadi tidak sesuai dengan rencana Allah yang menciptakannya.
Jika suami istri berkomitmen untuk memaknai hubungan seksual sesuai dengan prinsip kemurnian ini -sesuai dengan rencana Allah pada awalnya- maka mereka tidak perlu merasa kotor dan berdosa selama berhubungan seks. Yang menjadi masalah adalah jika kedua tujuan tersebut tidak dilakukan bersama- sama, apalagi jika fokus utamanya adalah mencari kepuasan jasmani sendiri, dan dengan demikian tidak dilakukan sesuai dengan rencana Tuhan.

V. Hubungan kasih suami istri berakar pada persamaan martabat keduanya
Walaupun dikatakan bahwa suami adalah kepala istri, namun itu bukan untuk diartikan bahwa martabat pria lebih tinggi dari martabat wanita. Tuhan menjadikan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan ini berarti bahwa keduanya diciptakan setara martabatnya.
KGK 2393 Dengan menciptakan manusia laki- laki dan perempuan, Tuhan memberikan martabat pribadi yang sama antara satu dengan lainnya. Setiap dari mereka harus mengenali dan menerima identitas seksualnya.
Persamaan martabat ini harus mendasari hubungan suami istri. Penghayatan akan hal ini mengakibatkan suami dan istri saling memperhatikan kehendak dan kebutuhan pasangan. Di samping istri perlu memahami kebutuhan suami, namun suami juga harus memperhatikan keadaan istrinya. Saling pengertian ini perlu, sebab jika tidak ada, salah satu pihak akan merasa hanya dipergunakan sebagai alat pelampiasan saja. Ini tentu tidak dikehendaki dalam perkawinan.
Maka tidak benar bahwa Gereja mengajarkan bahwa tujuan perkawinan adalah hanya untuk melepaskan hasrat seksual saja. Jika Rasul Paulus mengatakan, “Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu,” (1 Kor 7:9) selayaknya dimengerti bahwa melalui perkawinan pasangan suami istri dikuduskan, dengan latihan pemberian diri secara timbal balik dengan pasangannya. Pemberian diri ini melibatkan pengendalian diri dalam penyampaiannya. Dan dengan melatih pengendalian diri ini, maka mereka dikuduskan.

sumber: http://www.katolisitas.org